myuffins

Baik Jinhyuk juga Wooseok terdiam di tempatnya sekarang. Hanya ada suara tawa dari pangeran kecil mereka karena sedang menonton kartun menggunakan ponsel papanya.

Berawal dari keinginan Jinhyuk membawa suami serta anaknya berjalan jalan ke mall untuk mencari kebutuhan rumah juga mainan untuk putranya.

Tetapi takdir berkata lain, mereka malah berakhir disini, di tempat makan yang bisa dibilang mewah, bersama dengan kedua orangtua Jinhyuk yang sepertinya sudah tidak sabar ingin menggendong cucu pertamanya.

“Mas apa kabar?” tanya lelaki yang malah sepertinya semakin muda walau umurnya terus bertambah.

Jinhyuk menghela nafas, ia masih sedikit menyimpan kekesalan juga dendam untuk kedua orangtuanya yang terkesan benar benar membuang bahkan tidak ingin tau satupun informasi tentang dirinya.

Baru ingin meluapkan kemarahannya, tangannya sudah lebih dulu dibawa ke genggaman tangan yang lebih kecil darinya. Jinhyuk balas dengan senyumannya yang tipis—menandakan ia sedang tidak baik.

“Cucu ibu sudah besar sekarang. dek Wooseok, ibu mau gendong,” celetuk ibu ditengah ketegangan keduanya.

Wooseok tersenyum, baru juga ingin memberikan pangeran kecil mereka ke pangkuan ibu. Jinhyuk malah menahannya.

“Kalau tidak ada yang penting, mas dan Wooseok pamit. banyak yang harus dikerjakan, permisi,” kata Jinhyuk yang langsung berdiri menggenggam tangan Wooseok dan menggendong anaknya.

Wajah ibu merah padam berbanding terbalik dengan wajah bapak yang agak murung dan menyesal.

“Bapak mengerti kalau mas marah dengan bapak dan ibu, tapi bapak kira ini lah hukuman yang pantas bagi mas yang sudah berbuat hal seenaknya. Kalau bapak tidak lepas tanggung jawab terhadap mas, mas bakal semakin seenaknya dalam kehidupan mas. Mas tidak akan bisa menghargai uang, tidak bisa merasakan bagaimana bekerja keras untuk keluarga mas. Mungkin cara bapak yang salah ya, baru menemui mas lagi setelah 3 tahun.”

Jinhyuk duduk kembali, anaknya yang berada didekapannya lantas langsung menoleh, “Ayah don't be cad, Joel ada dicini.”

Kalimat yang diucapkan dengan cadel oleh si kecil membuat Jinhyuk tertawa kembali. Ibu memekik gemas, juga bapak yang malah semakin tidak sabar ingin membawa cucunya ke acara penting—untuk dipamerkan ke kolega bisnisnya.

Wooseok yang melihat interaksi keempatnya tersenyum teduh, satu masalah mereka selesai. Tinggal satu lagi, bertemu dengan papi dan maminya.

“Nak Wooseok, kenalin ini Jinhyuk yang ikut olimpiade juga tapi berbeda mata pelajaran.”

Wooseok tersenyum, “Hai Jinhyuk, semoga nanti menang ya.”

“Makasih.”

Wooseok menatapnya bingung, ah mungkin jinhyuk bukan orang yang suka mengobrol... padahal kan Wooseok masih ingin berbincang banyak.

2 Jam sudah pelatihan Olimpiade dilaksanakan, baik Jinhyuk maupun Wooseok sudah berkemas untuk pulang. Wooseok melihat jam tangannya, pukul 6 sore artinya hanya tinggal 30 menit lagi kelas bimbelnya dimulai. Wooseok sedikit berlari kecil meninggalkan kelas yang masih agak ramai, tidak sadar bahwa ia meninggalkan airpodsnya di meja.

“Dasar ceroboh.”

***

“Aduh capek banget,” keluhnya ketika ia sudah sampai di dalam kelas. Sejin disampingnya menatap bingung, “Kenapa seok?”

Wooseok tersenyum lebar, lalu mengeluarkan buku bukunya dari tas khusus bimbel.

“Habis lari, aku kira telat masuk kelas ternyata gurunya belum dateng.”

Sejin mengangguk paham. Wooseok memang begitu, ingin semuanya sempurna. Kadang ia kasihan melihat Wooseok yang tertekan akan kehidupannya, jarang bersosialisasi, hidup dengan jadwal yang sudah diberikan orangtuanya.

“Sejin, lihat Airpods aku gak?” tanya Wooseok. Bibirnya sengaja dimajukan tanda sedang kesal.

“Ketinggalan kali di mobil? atau di sekolah?” jawab Sejin seadanya.

“Yaudah deh aku beli lagi aja nanti pulang darisini, kira kira diizinin gak ya? mumpung besok libur kan ya, masa gak boleh sama mami...”

Kadang juga Sejin merasa pusing berteman dengan Wooseok, saking memiliki harta yang banyak ia membuat semuanya begitu mudah. Padahal kan bisa dicari aja...

“WOOSEOK AWAS!!!” suara teriakan melengking punya Byungchan terdengar dari arah ujung lapangan. Baru juga ingin lari kearah lain, tiba tiba ada benda keras yang menghantam kepalanya lalu kacamata bulatnya terlepas dari wajahnya.

Wooseok meringis, ingin menangis namun banyak kakak kelas di lantai 2 yang melihat kearah bawah. Pandangannya memburam, matanya butuh kacamata untuk melihat secara jelas.

“Woy gak apa apa? Duh maaf kawan gue gak hati hati pas main,” kata salah satu sosok laki laki yang menghampiri dirinya yang masih terduduk dipinggir lapangan. Terdengar juga beberapa suara laki laki lain yang mengerumun.

Entah butuh beberapa detik untuk Wooseok sadar kembali, namun ia langsung teringat tentang kacamatanya.

“Iya gak apa apa, tapi kacamata aku kemana ya?” tanya Wooseok sambil beraba raba tempat sekitarnya.

“Bro, kacamatanya hancur...” bisik lelaki tinggi kepada lelaki tinggi lainnya.

Jinhyuk namanya, lelaki yang pertama kali menghampiri Wooseok karena kesalahan temannya Seungyoun. Jinhyuk berdecak pelan, “Err, lo bisa lihat gak tanpa kacamata?”

Wooseok menggeleng masih dengan kegiatan meraba raba benda disekitarnya.

“Wooseok gak apa apa? kan tadi gue bilang jangan lewat koridor c kalau lagi istirahat.”

“Wooseok gak apa apa Byungchan, agak pusing aja. Chan cariin kacamata aku dong...” kata Wooseok kala mendengar teman dekatnya berada disamping.

Byungchan menatap murka Jinhyuk dan lainnya, “Kacamatamu pecah, tuh mereka pada sembarangan kalau main bola! APA?! liatin kayak gitu?! mau gue colok mata lo satu satu?”

“Yah pecah ya?”

“Gue janji gantiin, maaf ya Wooseok?”

Wooseok mengangguk lalu tersenyum, “Lain kali mainnya hati hati. Chan pegangin aku sampai ke kelas,” ucapnya lagi sambil menggandeng tangan temannya.

“Cih kenapa sih wooseok, jangan kayak ibu peri di sinetron sinetron deh,” kata Byungchan lalu dibalas dengan tawa kecil Wooseok.

Mereka berdua meninggalkan kerumunan laki laki yang kebanyakan melepas kemejanya untuk bermain bola basket.

“Namanya siapa dah?” tanya Jinhyuk yang masih tetap setia berada di tempatnya.

“Wooseok, MIPA 1. Permata sekolah, denger denger pacarnya kak Sehun. Tapi ternyata kak Sehunnya yang ngaku ngaku ckck.”

“Gue mau pacaran sama dia bisa enggak ya?”

Lalu dibalas tawa dan sorakan “Cie Jinhyuk!” dengan kawan kawannya yang lain.

baik wooseok maupun dengan si mas, sedang memadu kasih dibawah langit yang menurunkan salju salju putihnya. keduanya berjalan kearah mobil mereka yang terparkir tepat di depan rumah wooseok.

“mas aduh aku lupa, bingkisan buat ibu mas sehun ketinggalan. aku ambil dulu ya.”

sehun menepuk dahi wooseok pelan, lalu terkekeh setelahnya, “kebiasaan pelupanya belum hilang hilang juga.”

wooseok memajukan bibirnya sedikit agak mengkerucut, tangannya mengusap dahinya—agak lebay memang.

“yaudah mas duluan aja, i'll be there in 20 minutes okay?”

“yakin?” sehun menaikan alisnya satu tanda ragu akan pernyataan wooseok. namun langsung dibalas anggukan dari wooseok.

“eum, aku cuman ambil bingkisan punya ibu dan tara aku bakal kesana dalam hitungan 20 menit.”

kepalanya diusap lalu sehun tersenyum menatap wooseok. yang ditatap merasa agak salting, apalagi ditatap secara intens begitu. wooseok belum siap tau!

“jangan buat mas khawatir oke?”

“kalo misalnya aku gak sampe dalam 20 menit mas langsung telfon polisi cari aku juga gapapa.”

“gak kayak gitu maksudnya mas, sayang.”

wooseok terkekeh lucu, dirinya berjinjit menyamakan wajahnya dengan mas sehun. lalu dengan gerakan terburu buru, mengecup bibir mas sehun. yang tentunya habis itu langsung ada acara berlari sprint.

bagaimana sehun tidak semakin sayang dengan tunangannya?


disisi kota lainnya, ada 2 pemuda juga si ayah yang sedang serius mengerjakan tugas anaknya ( yang katanya baru diberi pada malam natal ini ) untuknya ini mudah bahkan terlalu mudah untuk membuat sketsa rumah sederhana untuk tugas seni anak sekolah akhir.

dia hanya belum tau bahwa ini hanya akal akalan anaknya saja. jarumnya sudah berdenting di angka 6 malam. junhyuk dengan gugup melihat kearah jinwoo. seolah mereka berdua bisa berbicara hanya lewat tatapan.

“sudah selesai, tugasnya cuman di kertas hvs gini gak apa apa?” tanya jinhyuk sambil menyeruput lemon tea dinginnya.

junhyuk mengangguk, jinwoo juga ikut mengangguk. jinhyuk sama sekali tidak melihat keanehan dari anak anaknya. mangkanya dengan santai ia berdiri berniat untuk cuci tangan terlebih dahulu sebelum membawa pulang tubuh lelahnya dan berbaring santai sambil menonton televisi di rumahnya.

“ayah cuci tangan dulu, habis itu kita pulang oke?”

jinhyuk dengan perpaduan sweater putihnya memang menawan, apalagi sekarang tempat yang sedang mereka jadikan tempat untuk mengisi perut sedang ramai—kebanyakan juga kaum hawa.

“heh gimana ini? kalo di rumah males nanti pasti dimarahin ayah!”

“sabar kenapa sih? cerewet banget jadi kakak!”

“kok lo yang sewot jadinya???”

biasa diantara pertengkaran si kembar tidak ada yang mau mengalah. paling nanti tiba tiba sudah baik seperti semula lagi.

make his pocket hurt

buru buru keduanya melihat kearah handphone junhyuk yang bergetar mengeluarkan suara suara lagu yang katanya jinwoo aneh itu.

“halo!”

“selamat malam, hari ini kami dari sendiri podcast akan mendengarkan keluh kesah kakak! bisa mulai perkenalan?”

junhyuk tersenyum lebar, menyuruh jinwoo untuk diam sejenak, “i'm lee junhyuk!”

“okay kak junhyuk, kakak dari kota mana dan umur berapa?”

“seattle, umur 16 tahun.”

“yaampun dek, masih muda ya. gausah curhat mending belajar aja.”

terdengar suara lelaki lain yang tertawa dari balik panggilan, “ih podcast ini gak profesional, nanti saya viralin loh!”

si ayah berjalan dari tempat pencucian tangan, sambil mengeringkan tangannya dengan tisu kering. agak mengerutkan alisnya, mendapatkan anaknya yang sedang menerima telfon.

“siapa jinwoo?”

jinwoo mengangkat kedua bahunya, lalu menggeleng, “kayaknya penting yah, kalo gak penting siapa juga yang mau telfon junhyuk.”

“AYAH AKU KETAHUAN!”

“ketahuan apa?”

“hamilin anak orang!”

oke sekarang waktunya jinwoo akan pergi ke toilet, lalu kabur melewati kaca. malu banget, gak kepikiran sama apa yang ada dipikiran adik kembarnya.


“jingle bell jingle bell jingle bell rock, nana nanana. bodoh banget sih lo seok, lagunya jadi aneh kalo lo yang nyanyiin.”

itu wooseok dibagian kota lainnya, sedang menikmati waktu sendirinya ditemani dengan cokelat panas yang tersimpan apik ditempatnya yang sesekali ia sesap.

“ganti siaran aja lah.”

tangan kanannya ia bawa kearah pemutar radio, sedangkan tangan kirinya masih setia dengan stir mobil.

MOHON MAAF PAK ANAK SAYA GAK HAMILIN ANAK BAPAK, MUNGKIN INI ADA KESALAHAN

“pfft, sumpah ini radio lagi ngelawak?” tanya wooseok agak menggelengkan kepalanya, baru saja ia ingin mengganti saluran. suara yang agaknya familiar terdengar olehnya.

aduh pak ini sendiri podcast pak, bukan orang mau minta tanggung jawab.

junhyuk ini apa coba jelasin ke ayah?!

halo pak jinhyuk? bapak masih disana

oke mungkin ini agak asik untuk di dengar. jadi wooseok akan mengurungkan niatnya untuk merubah saluran radio dan memilih mendengarkan saluran ini ( juga dia berpikir suara orang ini cukup enak didengar )

ah iya saya dengan jinhyuk, maaf sebelumnya ini podcast tentang apa kalau boleh saya tau?

namanya sendiri podcast, kami menerima cerita cerita tentang kesendirian bapak disini

saya gak sendiri saya putus ya—

EH tunggu pak, diputusin pacar ditengah jalan aja sakit ini masa mau diputusin ditengah podcast pak...

loh kok jadi kalian yang curhat???

oke back to topic, jadi bapak mau curhat apa?

saya kan—

lalu diseberang sana ada suara rengekan yang wooseok dengar ayah jahat ayo dong cerita kalo enggak kita mogok makan!

oke, i'm jinhyuk from seattle

oke pak jinhyuk, bisa kita mulai?

well, it's been a long time. i didn't have any relationships.

“wow, suaranya enak definisi suami yang baik kayaknya. tapi kok dia gak mau punya hubungan lagi? jangan jangan gak ada yang mau sama dia?” protesnya sambil tetap setia dengan kemudinya.

sorry, but why? kami rasa umur anda masih cukup muda untuk menjalin sebuah hubungan

i don't mean to be rude.

and we don't want to invade your privacy.

“oh, sure you do.” sure you do.

kemudinya diputarkan ke dalam rest area untuk sejenak mendengarkan kisah lelaki diseberang kota sana. melupakan tunangannya yang mungkin menunggu di rumahnya.

then go on, we're listening

we had a pretty tough time there at first, but we're dealing with it. the twins and i will get along just fine again. since five years ago, i think the twins can move on from their bunda. but i don't.

we have no doubt that you're a wonderful father and handsome man with a gentle preasure. we can hear it from here.

wooseok agaknya mengulumkan senyumnya, dia setuju. sangat setuju. terdengar dari suara lembutnya yang agak berat, si jinhyuk ini sepertinya ayah yang baik. ah, rasanya hanya mendengarnya saja hati wooseok menghangat.

you certainly can.

just a few questions, are you sleeping at night?

it's my privacy. look it's christmas and i won't being interupt at this night.

wait, just wait. we can give you a solution to make the twins better than this time.

hening lagi, hanya ada suara mobil yang berlalu lalang juga helaan nafas dari radionya.

sujeong, my wife oh my ex wife i guess haha. we called her bunda. she made everything beautiful. any kid needs a mother.

could it be that you need someone just as much as the twins does?

“yes,” suara lirihan wooseok terdengar berlawanan dengan suara pendingin mobil yang membuat suasa semakin sejuk untuk dirinya sendiri.

and do you think there's someone out there you could love as much as your wife?

it's hard to imagine.

what are you going to do?

well, i'm going to get out of bed every morning, make a breakfast for the twins. then after a while i won't have to remind myself to get out of bed in the morning and make a breakfast.

and then after a while i won't have to think about how i had a great and perfect for a while.

tell us what was so special about your wife or we can call her bunda?

how long this podcast can hear how perfect is she?

oh well, it was a million tiny little things. when you added them all up, it just meant we were supposed to be together. and i knew it the every first time i touched her. it was like coming home, i was just taking her hand, to help her out of a bus and i knew it. it's like a magic.

“magic.”

bersamaan dengan kembang api yang memenuhi indahnya langit new york malam itu. meninggalkan wooseok dengan segala pertanyaan di benaknya, tentang siapa lelaki itu? kenapa dia bisa membuat hatinya menghangat hanya dengan suaranya.

kim wooseok, biasa juga dipanggil wooseok atau kalau sudah terlalu dekat dipanggil meng atau ucing. sebenarnya semua sudah terlalu sempurna untuk dirinya kecuali masalah pasangan. beberapa kali ia harus menelan kenyataan pahit—tidak jadi menikah atau diputuskan ditengah jalan. padahal parasnya manis juga indah, punya banyak penggemar juga sudah berkemampuan lebih, terhitung sudah 13 tahun berkecimpung di dunia berita.

tapi, banyak yang harus wooseok koreksi tentang kehidupan percintaannya. wooseok terlalu realistis, wooseok terlalu matre, wooseok terlalu cuek, wooseok terlalu aneh buat beberapa lelaki diluar sana. itu beberapa masalah yang katanya ada di diri wooseok. padahal kalau ia sudah bertemu dengan sosok yang tepat untuk hatinya ia tidak akan begitu. seperti si mas yang dengan tiba tiba melamarnya kemarin. padahal hubungan mereka baru terhitung 2 bulan esok hari. semuanya terasa aneh juga menyenangkan.

maka dari itu, mungkin hari ini wooseok akan memberikan mas sedikit hadiah seperti kecupan mungkin? tidak wooseok tidak akan terlewat batas walau umurnya dan mas sudah matang.

“gimana cincinnya?” tanya si mas yang sedang berhadapan dengan wooseok di dalam mobil yang tepat terparkir di halaman rumah keluarga kim. beberapa ornamen natal juga sudah terpasang cantik di rumahnya.

wooseok mengangguk sambil berlinang air mata—terlalu terharu—akhir percintaannya akan indah seperti ini. dengan membenamkan dirinya di dekapan lelaki yang lebih tua juga lebih tinggi darinya, membuat wooseok merasa disayang dan dicintai sepenuh hati.

dengan tiba tiba tubuhnya terangkat, bunyi jok mobil yang di dorong kearah belakang terdengar. wooseok semakin menyamankan dirinya. beberapa kali ia akan dikecup di dahinya oleh si mas.

ia mendongak, memberi senyuman lebar juga tiba tiba memberi satu kecupan di bibir si mas tangannya mengambil telapak tangan kanan calon suaminya, ia mengangkat sambil melihat cincin yang sepasang dengan dirinya terpampang apik di jari panjangnya.

“gemes banget, jangan gitu nanti mas makin sayang,” selanjutnya pipi wooseok memerah yang langsung dengan sigap diberi beberapa kecupan. mata indahnya dipaksa terpejam karena tidak kuat melihat pemandangan di depannya, ada lelaki yang begitu tampan.

“hey, kenapa ditutup matanya manis?” tanya yang lebih tua, dijawab dengan suara yang kecil, “aku malu.”

lalu selanjutnya yang lebih tua mengecup beberapa kali kelopak mata si manis. bulu mata lantiknya beberapa kali mengerjap setelah dikecup seperti itu.

lalu kegiatan selanjutnya akan semakin parah kalau tidak—

“hoi, berbuat mesum kok di mobil? diketawain jok baru tau rasa!” jendela mobilnya diketuk ricuh oleh oknum yohan, sang adik.


suasana di rumah wooseok semakin ramai kala paman dan bibinya datang dari london, mereka membawa anak pertama mereka yang masih bayi. membuat yohan, wooseok juga seobin memekik gemas.

lebih ramai lagi ketika wooseok keluar lagi untuk mengambil beberapa box hadiah ditemani oleh mas tentunya.

“everyone! i have a good news juga ini kesukaan mami,” wooseok berteriak di tengah tengah jamuan makan malam natalnya. semua langsung menatap wooseok terheran.

“apaan kak? anjing kakak kecebur got lagi?” tanya seobin yang langsung dibalas delikan sinis dari wooseok.

buru buru wooseok merubah ekspresi wajahnya lagi jadi bahagia, ia mengajak si mas berdiri dan langsung merangkul lengannya.

“me and mas sehun are engaged!”

butuh waktu satu sampai lima detik untuk keluarga kim mencerna ucapan anak sulungnya. semuanya langsung bersorak gembira, akhirnya penantian wooseok terbayar dengan adanya sosok mas sehun.

yang paling bahagia tentu sang mami, buru buru maminya memeluk anaknya dengan penuh sayang.

“pantes ya mas sehun sama kak wooseok udah berani begituan di mobil orang udah dilamar.”

yang langsung mengundang tatapan semua orang di meja tersebut.


sekarang wooseok dan maminya sedang berada di kamar lamanya. semuanya masih terasa sama ada beberapa ornamen yang kata wooseok, “ini tuh aesthetic bukan sampah!”

keduanya duduk sambil memilih beberapa style jas juga memilih beberapa model venue untuk pernikahan wooseok nanti.

maminya tidak sengaja menemukan album foto milik wooseok yang sudah lama hilang—padahal ternyata terjatuh dibawah kolong kasur. maminya sedikit menitihkan air mata ketika membuka halaman pertama album itu. terlihat anak lelaki botak yang masih mengempeng.

“kakak, mami gak nyangka banget kamu udah mau nikah gini. mami masih anggap kamu anak bayi mami melebihi seobin juga yoyo.”

wooseok tersenyum teduh menatap maminya, dalam beberapa jentikan pasti air mata wooseok jatuh.

“mi, wooseok juga gak nyangka banget udah sebesar ini sekarang. apalagi kenyataan wooseok udah mau nikah 3 bulan lagi. wooseok sampai mikir apa ini aku lagi di dunia dongeng? soalnya kayak dret dret dret dret semua kejadian.”

suara gaduh dari lantai bawah tidak membuat kedua ibu dan anak ini ingin beranjak dari kasur nyaman wooseok.

“jatuh cinta sama mas sehun rasanya gimana kak? dulu mami sama papi kamu tuh ketemu dan its like a magic boom! mami sama papi mu langsung klop, kamu kayak gitu?”

wooseok tersenyum lalu mengangguk, “iya kayak gitu mi.”

enggak, kayak gitu mi...

Cosmic radiation

mungkin kalau bisa dijabarkan dalam sebuah tulisan di buku atau digambarkan diatas kertas maka sudah bisa dipastikan butuh berapa ratus tahun untuk mengisi itu semua, untuk menjabarkan rasa kehilangan dan duka. diatas bumi, dibawah langit cerah yang bertolak belakang dengan keadaan yang sedang dialami kedua anak lelaki dengan ayahnya yang saling berdekapan menyalurkan rasa sedih di dalam hati mereka. menatap makam wanita kesayangan mereka bertiga. beberapa kali yang paling muda berucap bunda sambil menggerung gerung mencari kenyamanan di dekapan sang ayah. ayahnya pun sama mencari ketegaran demi kebaikan mereka semua. tapi apa artinya tegar kalau hati menentangnya?

si bunda yang sedang ditangisi, baru pergi kemarin sore di sebuah rumah sakit di pusat kota. dengan menggenggam tangan suaminya, ia pergi dengan tenang tanpa memikirkan beban yang akan dipikul ketiga lelaki terkasihnya. kenangan akan masa lalu terputar secara acak dipikiran si ayah. sulit merelakan, apalagi kedua anaknya masih dalam masa pertumbuhan. apalagi pekerjaannya yang harus mengharuskan ia lembur pada hari hari tertentu. dan banyak apalagi dan apalagi yang tercipta di benaknya.

kedua orangtua jinhyuk juga menatap putranya dengan pandangan iba, mengingat menantu mereka yang berencana akan menambah momongan tahun depan ketika ia sudah sembuh seratus persen. ya, rencana tinggal rencana. semua sudah pupus.


butuh waktu 5 hari untuk meredakan tangisan, butuh waktu 15 hari untuk bisa makan dengan tenang, butuh waktu 30 hari untuk terbiasa setiap paginya tanpa kecupan dari si bunda dan untuk hal merelakan sepertinya butuh waktu beratus ratus hari. mengingat sudah 13 tahun mereka tinggal bersama dengan bahagia.

jinhyuk tersenyum ditengah acara memanggang roti untuk kedua jagoannya. sebenarnya lebih ke senyuman miris, tidak pernah terpikir ia akan kehilangan sebesar ini. padahal dulu istrinya pernah bilang kalau aku pergi kamu, jinu, dan junhyuk bakal sedih enggak? dan hanya dijawab tertawa oleh jinhyuk. mungkin kalau waktu bisa diputar, jinhyuk lebih memilih memeluk dan mengecup dahinya berkali kali sambil membisikkan kata kata sayang.

“ayah, where's my shoes?”

lalu ada teriakan lagi dari lantai atas rumah mereka, pertengkaran kedua anak kembar. sudah terlalu biasa jinhyuk melerai mereka berdua. bahkan terlalu biasa sampai jinhyuk tau menit ke berapa mereka akan berpelukan lagi sambil mengucap aku sayang adek dan juga aku sayang jinu kedua jiwa yang menjadi penyemangat hidupnya.

“jagoan sudah siap? we're heading to uncle sejin to give him an ice cream then i'll send you to the school, understand kids?”

baik jinwoo juga junhyuk mengangguk sambil memakan roti selai strawberrynya, paling tidak roti itu bisa mengganjal perut mereka yang kosong sampai sekolah nanti. jinhyuk tersenyum, walau di dalam hati ia mengeluh kepada tuhan. di umurnya yang baru menginjak 34 tahun tiba tiba harus mengurus semuanya sendiri, kecuali pekerjaan rumah, karena sudah dikerjakan orang kepercayaan jinhyuk.

“ayah, we're done. jangan melamun terus, nanti dimasukin setan hiiii.” jinhyuk tertawa, setidaknya ia masih mempunyai mereka bukan untuk bangkit kembali?


suasana kantor jinhyuk pagi ini bisa dibilang sangat sibuk, beberapa orang berjalan kesana kemari sambil memegang dokumen ataupun masih dengan ponsel mereka.

berbeda dengannya yang malah menatap keluar jendela ruang kantornya, sambil memasukkan tangan ke jas mahalnya. sesekali mendengus pelan mendengar keberisikan disekitarnya. di tangan kirinya yang dihiaskan jam tangan vacheron costantin ia memegang satu cangkir berisi kopi hitam yang tinggal tersisa setengah.

bunyi derap kaki terdengar di telinganya tapi ia berusaha menghiraukannya. paling juga rekan kerjanya yang akan memberi ia ceramah dan kalimat kalimat simpati. sungguh itu tidak mempan di dirinya.

“i think you should go to the psikolog, ini ada kartu namanya, dokter yang suka dipakai putriku.”

jinhyuk menghela nafas, kan topik ini lagi. dirinya memutar badannya ke hadapan pak jung yang masih menunggu kartu nama pemberiannya diambil. namun jinhyuk menggeser badannya kearah laci meja kerjanya dan mengeluarkan tumpukan kartu nama psikiater yang sudah diberi teman temannya.

“lets see, dr. maya from reayn hospital, dr. tom from hopkins hospital, dr. yua from jewish hospital dan masih banyak lagi. saya tidak butuh ini pak jung. saya hanya butuh pengalihan topik dan bagaimana caranya saya bisa lupa akan kenangan istri saya-” jinhyuk berhenti berbicara, menatap keluar jendela lagi. pemandangan gedung gedung tinggi juga dibawahnya ada jalan raya yang sedang padat. terlihat beberapa mobil yang sedang saling bersautan satu sama lain. ia butuh ketenangan, butuh distraksi. ya benar ia butuh pergi dari kota besar ini. meninggalkan segala kenanangan tentang istrinya.

“saya akan pergi ke kota yang lebih damai juga lebih kecil daripada ini. bagaimana menurutmu pak jung?”


“twins, kita pindah ke seattle, udah keputusan akhir ayah. lee junhyuk jangan membantah, lee jinwoo jangan menangis. ini sudah yang terbaik untuk kita oke?” ucap jinhyuk sambil membereskan beberapa baju anaknya yang ada di dalam lemari. terdengar gerutuan juga isakan pelan dari kedua putranya. mungkin bagi mereka, jinhyuk akan menjauhkan keduanya dari makam sang bunda. bukan, jinhyuk hanya akan memberi jarak, yang sebenarnya hanya akan menguntungkan di pihak dirinya sendiri. kedua putranya bahkan yang lebih dulu merelakan bundanya pergi.

“bunda, ayah jahat! i hate you!” jinwoo berteriak lalu ke lantai bawah untuk pergi keluar rumahnya, bermain dengan sahabat sekaligus tetangganya lebih baik daripada mendengar kalimat dari ayahnya.

jinhyuk menghela nafas, skenario ini sudah terpikir di dalam otaknya. jadi ia biarkan saja dulu jinwoo, toh nanti saat ia sudah lapar pasti akan pulang dan merengek ke ayahnya—minta dibelikan happy meals.

“kamu gak mau ke rumah sashi juga kayak jinu?” tanya jinhyuk yang masih betah melipat beberapa baju putranya untuk dimasukkan ke dalam koper.

“eum, aku mau ke rumah sashi tapi aku laper. ayah aku mau pesen makanan dulu ya, habis itu kita marahan!”

gerakannya terhenti, dibawa kaki panjangnya kearah putra kecilnya yang masih mengusap perut dibalik baju merahnya yang bertulis weirdo, jinhyuk mengangkat junhyuk dengan mudah. walau sudah tidak seenteng itu—jinhyuk akui memang.

“call, mau mcd?” lalu dibalas anggukan ribut dari junhyuk.