Prolog : Tentang Kehancuran dan Kebangkitan

mungkin kalau bisa dijabarkan dalam sebuah tulisan di buku atau digambarkan diatas kertas maka sudah bisa dipastikan butuh berapa ratus tahun untuk mengisi itu semua, untuk menjabarkan rasa kehilangan dan duka. diatas bumi, dibawah langit cerah yang bertolak belakang dengan keadaan yang sedang dialami kedua anak lelaki dengan ayahnya yang saling berdekapan menyalurkan rasa sedih di dalam hati mereka. menatap makam wanita kesayangan mereka bertiga. beberapa kali yang paling muda berucap bunda sambil menggerung gerung mencari kenyamanan di dekapan sang ayah. ayahnya pun sama mencari ketegaran demi kebaikan mereka semua. tapi apa artinya tegar kalau hati menentangnya?

si bunda yang sedang ditangisi, baru pergi kemarin sore di sebuah rumah sakit di pusat kota. dengan menggenggam tangan suaminya, ia pergi dengan tenang tanpa memikirkan beban yang akan dipikul ketiga lelaki terkasihnya. kenangan akan masa lalu terputar secara acak dipikiran si ayah. sulit merelakan, apalagi kedua anaknya masih dalam masa pertumbuhan. apalagi pekerjaannya yang harus mengharuskan ia lembur pada hari hari tertentu. dan banyak apalagi dan apalagi yang tercipta di benaknya.

kedua orangtua jinhyuk juga menatap putranya dengan pandangan iba, mengingat menantu mereka yang berencana akan menambah momongan tahun depan ketika ia sudah sembuh seratus persen. ya, rencana tinggal rencana. semua sudah pupus.


butuh waktu 5 hari untuk meredakan tangisan, butuh waktu 15 hari untuk bisa makan dengan tenang, butuh waktu 30 hari untuk terbiasa setiap paginya tanpa kecupan dari si bunda dan untuk hal merelakan sepertinya butuh waktu beratus ratus hari. mengingat sudah 13 tahun mereka tinggal bersama dengan bahagia.

jinhyuk tersenyum ditengah acara memanggang roti untuk kedua jagoannya. sebenarnya lebih ke senyuman miris, tidak pernah terpikir ia akan kehilangan sebesar ini. padahal dulu istrinya pernah bilang kalau aku pergi kamu, jinu, dan junhyuk bakal sedih enggak? dan hanya dijawab tertawa oleh jinhyuk. mungkin kalau waktu bisa diputar, jinhyuk lebih memilih memeluk dan mengecup dahinya berkali kali sambil membisikkan kata kata sayang.

“ayah, where's my shoes?”

lalu ada teriakan lagi dari lantai atas rumah mereka, pertengkaran kedua anak kembar. sudah terlalu biasa jinhyuk melerai mereka berdua. bahkan terlalu biasa sampai jinhyuk tau menit ke berapa mereka akan berpelukan lagi sambil mengucap aku sayang adek dan juga aku sayang jinu kedua jiwa yang menjadi penyemangat hidupnya.

“jagoan sudah siap? we're heading to uncle sejin to give him an ice cream then i'll send you to the school, understand kids?”

baik jinwoo juga junhyuk mengangguk sambil memakan roti selai strawberrynya, paling tidak roti itu bisa mengganjal perut mereka yang kosong sampai sekolah nanti. jinhyuk tersenyum, walau di dalam hati ia mengeluh kepada tuhan. di umurnya yang baru menginjak 34 tahun tiba tiba harus mengurus semuanya sendiri, kecuali pekerjaan rumah, karena sudah dikerjakan orang kepercayaan jinhyuk.

“ayah, we're done. jangan melamun terus, nanti dimasukin setan hiiii.” jinhyuk tertawa, setidaknya ia masih mempunyai mereka bukan untuk bangkit kembali?


suasana kantor jinhyuk pagi ini bisa dibilang sangat sibuk, beberapa orang berjalan kesana kemari sambil memegang dokumen ataupun masih dengan ponsel mereka.

berbeda dengannya yang malah menatap keluar jendela ruang kantornya, sambil memasukkan tangan ke jas mahalnya. sesekali mendengus pelan mendengar keberisikan disekitarnya. di tangan kirinya yang dihiaskan jam tangan vacheron costantin ia memegang satu cangkir berisi kopi hitam yang tinggal tersisa setengah.

bunyi derap kaki terdengar di telinganya tapi ia berusaha menghiraukannya. paling juga rekan kerjanya yang akan memberi ia ceramah dan kalimat kalimat simpati. sungguh itu tidak mempan di dirinya.

“i think you should go to the psikolog, ini ada kartu namanya, dokter yang suka dipakai putriku.”

jinhyuk menghela nafas, kan topik ini lagi. dirinya memutar badannya ke hadapan pak jung yang masih menunggu kartu nama pemberiannya diambil. namun jinhyuk menggeser badannya kearah laci meja kerjanya dan mengeluarkan tumpukan kartu nama psikiater yang sudah diberi teman temannya.

“lets see, dr. maya from reayn hospital, dr. tom from hopkins hospital, dr. yua from jewish hospital dan masih banyak lagi. saya tidak butuh ini pak jung. saya hanya butuh pengalihan topik dan bagaimana caranya saya bisa lupa akan kenangan istri saya-” jinhyuk berhenti berbicara, menatap keluar jendela lagi. pemandangan gedung gedung tinggi juga dibawahnya ada jalan raya yang sedang padat. terlihat beberapa mobil yang sedang saling bersautan satu sama lain. ia butuh ketenangan, butuh distraksi. ya benar ia butuh pergi dari kota besar ini. meninggalkan segala kenanangan tentang istrinya.

“saya akan pergi ke kota yang lebih damai juga lebih kecil daripada ini. bagaimana menurutmu pak jung?”


“twins, kita pindah ke seattle, udah keputusan akhir ayah. lee junhyuk jangan membantah, lee jinwoo jangan menangis. ini sudah yang terbaik untuk kita oke?” ucap jinhyuk sambil membereskan beberapa baju anaknya yang ada di dalam lemari. terdengar gerutuan juga isakan pelan dari kedua putranya. mungkin bagi mereka, jinhyuk akan menjauhkan keduanya dari makam sang bunda. bukan, jinhyuk hanya akan memberi jarak, yang sebenarnya hanya akan menguntungkan di pihak dirinya sendiri. kedua putranya bahkan yang lebih dulu merelakan bundanya pergi.

“bunda, ayah jahat! i hate you!” jinwoo berteriak lalu ke lantai bawah untuk pergi keluar rumahnya, bermain dengan sahabat sekaligus tetangganya lebih baik daripada mendengar kalimat dari ayahnya.

jinhyuk menghela nafas, skenario ini sudah terpikir di dalam otaknya. jadi ia biarkan saja dulu jinwoo, toh nanti saat ia sudah lapar pasti akan pulang dan merengek ke ayahnya—minta dibelikan happy meals.

“kamu gak mau ke rumah sashi juga kayak jinu?” tanya jinhyuk yang masih betah melipat beberapa baju putranya untuk dimasukkan ke dalam koper.

“eum, aku mau ke rumah sashi tapi aku laper. ayah aku mau pesen makanan dulu ya, habis itu kita marahan!”

gerakannya terhenti, dibawa kaki panjangnya kearah putra kecilnya yang masih mengusap perut dibalik baju merahnya yang bertulis weirdo, jinhyuk mengangkat junhyuk dengan mudah. walau sudah tidak seenteng itu—jinhyuk akui memang.

“call, mau mcd?” lalu dibalas anggukan ribut dari junhyuk.