Flowery Path
Dari 1000 kehidupan yang pernah raganya jalani, mungkin ini adalah yang paling terburuk diantaranya. Memiliki ayah pemabuk, ibu yang suka bermain dengan lelaki lain membuat hidup Biu tidak bahagia. Beberapa kali renternir menarik tubuhnya hingga terseret ke jalan raya, penuh luka, penuh lebam, hanya angin yang mau menarik kedekapannya yang dingin. Cerita tentang dongeng yang dibacakan ibunya dulu tidak berlaku di kehidupannya. Tidak ada kereta kuda, tidak ada sepatu kaca, juga tidak ada pangeran tampan yang mau mengulurkan tangannya ke pemilik kasta terendah seperti dirinya.
Sudra, kasta yang sudah diperolehnya sejak ada di tangan tuhan. Untungnya ia masih boleh menginjakkan kakinya ke sekolah dasar hingga menengah atas. Atas perintah raja Summetikul pembagian kasta tidak terlalu seberat itu.
“Biu, sudah menata tanaman di taman? Sebentar lagi pangeran akan pulang dari studinya di luar negeri,” ia terdiam lalu mengangguk tanda ia sudah mengerjakannya. Yang menanya tadi adalah kepala pelayan bagian taman, Bibi Rena. Katanya hanya Biu yang boleh memanggilnya seperti itu, bahkan bibi Rena lebih menyayanginya dibandingkan seluruh makhluk hidup di dunia ini.
Kilas balik setahun lalu, tubuh kurusnya ia paksakan berjalan tidak tahu arah yang penting jauh dari rumah pikirnya sih begitu. Tapi ia semakin panik kala mendengar deruan ombak bernyanyi daerah perbatasan banyak penjaga disini, bermuka galak, posturnya tinggi besar. Tentu ia tidak mau tertangkap basah dan mungkin akan dituduh ingin menjalakan imigrasi secara illegal. Untung sang dewi sedang berpihak kepada dirinya. Bukannya ditahan ia malah dipaksa raja untuk ikut dengan rombongan kerajaan yang memang sedang mengawasi daerah perbatasan hari itu dan mulai hari itu juga Biu resmi menjadi bagian dari salah satu orang beruntung yang bisa menginjakan kaki ke istana.
“Tamat.”
“Kak Biu, ceritanya kok pendek, kan bukunya tebal?” rentetan pertanyaan dari Ta, pangeran kecil yang selalu ia temani sebelum tidur membuatnya tertawa.
Tangan yang biasanya ia gunakan untuk mempercantik tanaman dibawa untuk menjawil pelan hidung si pangeran kecil. “Sekarang waktunya pangeran Ta tidur, ceritanya sudah habis, bahkan tokoh utamanya sudah bahagia semua.”
“Tapi semuanya kok berakhir bahagia? Setelah itu memang mereka gak sedih sedihan kak? Kok gak diceritain?” Biu mengelus rambut Ta yang selalu lembut di tangannya, harumnya seperti ketenagan di musim semi.
“Gak semua yang sedih sedih harus diceritakan pangeran kecil, sekarang tidur ya?”
“Tapi kak Biu temani, nanti ada monster yang muncul dari bawah kasur aku.”
Mengangguk adalah satu-satunya jawaban yang ia punya. Apa haknya untuk menolak perintah yang memiliki kasta yang berada jauh diatasnya. Walaupun umur Ta baru 9 tahun sekalipun.
“Nyanyiin aku kak Biu, terus elus rambutnya.”
Dapat dipastikan malam itu suara merdu nan indah milik Biu akan terdengar bukan hanya di telinga Ta melainkan bisa sampai telinga raja dan ratu yang selalu melihat interaksi keduanya pada malam hari.
“Biu gak mau kita dukung jadi penyanyi aja? sayang suaranya bagus.”
“Lebih cocok jadi bagian dari keluarga kita, kenalin sama Bible ya?”
Sederet kata yang hanya diucap spontan akan berdampak di kedepannya. Dongeng yang tidak dipikirkan akan berlangsung sebentar lagi.
“Abang!”
Semua yang ada di istana menyambut kedatangan pangeran yang meninggalkan singgasananya sejak empat tahun lalu. Merantau di negeri orang untuk mencari ilmu juga jodoh (ini kata mami, disana perempuan cantik cantik, kamu cari bibit unggul ya mas dan itupun didukung oleh papi yang memberikan banyak hadiah yang katanya lagi untuk menggaet hati wanita)
Mencari jodoh bukan tujuan utamanya sekarang, gampangnya pasti dari 100 wanita maupun lelaki di negeri ini mau dengannya.
Kicau-kicau burung terdengar merdu, bunga-bunga yang bermekaran terlihat indah, di depannya sudah ada Ta yang ingin diangkat dan dibuat seolah terbang menggunakan pesawat terbang.
Dibelakang Ta sudah ada papi juga mami atau disebut raja dan ratu yang menunggu ingin memeluk tubuhnya.
Sebenarnya sengaja ia tidak pernah pulang, katanya ingin memberi kejutan setelah empat tahun.
“Masih inget rumah kamu?” Mami bertanya, Bible tertawa. Tapi tetap tubuhnya membawa tubuh maminya, yang lalu diajak berputar putar. “Aduh mami, kangen banget sama berisiknya.”
Obsidiannya bersitatap dengan dua netra lainnya, bercahaya, indah, melebar lucu cantik. Dan tiba tiba kakinya berjalan kearah sosok itu, mengobservasi wajahnya dengan tatapan mata.
Dari atas hingga bawah berhenti disatu objek yang dipahat begitu indahnya oleh tuhan. Bahkan dirinya mau jika disuruh memuja mata secerah mentari atau bibir semerah ceri ini.
Namun sosok itu berjalan menjauh, menduduk kaku, seperti merasa tidak enak kalau bersikap diam di tempat. Berjalan kearah jarum jam 10, rumahnya. Hamparan rumput penuh bunga, dihinggapi berbagai macam kupu-kupu, ia menghilang seolah-olah bertransformasi menjadi sosok indah yang bisa terbang.
“Mami dia siapa?”
Dari pertanyaan sederhana itu berkembang menjadi animo untuk dekat (dalam artian memulai hubungan mesra) tanpa tau apa efek kedepannya atau cemoohan dari orang untuk apa dekat dengan orang kasta rendahan seperti dia?
Seminggu, ia belum bertemu dengan 'dia' lagi. Tapi informasi dari mami sudah cukup banyak untuknya. Wajahnya candu, ingin Bible pandangi terus, walau sudah tau letak demi letak komponen pembentuknya.
Jika mendapatkannya melanggar peraturan yang berlaku, maka ia akan dengan senang hati memohon kepada papinya untuk menggunakan privilesenya menggangati semuanya agar berjalan lancar. Pangeran tidak boleh kesusahan.
“Hai, ternyata kamu disini. Dari kemarin saya cariin.”
Matanya membulat lucu lagi, “M-maaf pangeran, apa ada yang dibutuhkan dari pelayan bagian taman seperti saya?”
Sudah dari jarak sedekat ini baru semua pertanyaan yang dikumpulkan olehnya sejak kemarin buyar.
“Umur kita sama kan? panggil Bible aja mau?” dia menggeleng heboh, tangannya juga ikut bergerak kearah kanan dan kiri seolah ia tidak setuju dengan pertanyaan itu.
“Pangeran ini tidak sopan, nanti saya bakal kena hukuman dari kepala pelayan utama.”
Bukannya menjawab Bible malah tertawa lebar, tangannya juga dibawa untuk disatukan oleh tangan Biu yang lebih mungil darinya.
“Pangeran! tangan saya bau tanah!” panik, hanya panik yang bisa menggambarkan situasinya kali ini. Bahkan Ta sekalipun tidak pernah menggenggam tangannya jika baru bersentuhan dengan kotornya tanah.
“Yang penting kamu sendiri bau bunga kan? Biu ayo kenalan lebih deket.”
Ini kok pangeran yang mau banget kenalan sama aku? Harusnya kan aku yang pengen kenalan? Pikirnya
Mungkin ini sebuah apresiasi dari tuhan karena sudah bertahan hingga kini. Melewati segalanya sendiri, dongeng itu berlangsung sekarang. Dongeng pangeran berkuda putih yang mungkin ingin menyelamatkan hidupnya.
Tubuhnya dibawa lebih mendekat hingga dahinya sendiri bersentuhan dengan kancing di kemeja Bible. Tidak bisa bergerak setidaknya itu yang Biu rasakan sekarang. Degupan dari dada yang lebih besar terdengar bising.
“Ngerasa ada listrik gak Biu?” dengan polosnya yang ditanya mengangguk pelan.
Satu menit tidak ada yang mau melepaskannya. Dekapan itu cukup membuat keduanya merasa nyaman, merasa menemukan hidupnya yang lain. Benang yang mungkin dulunya jauh sekarang sudah tersambung lebih dekat. Senyuman keduanya sekarang melebar, merasakan sesuatu yang tidak biasanya mereka rasakan. Dan karena itu juga, yang lebih dominan disini berani untuk mendaratkan kecupan di dahi yang lebih kecil.
“Eh?” buru buru Biu melepaskan persatuan tubuh mereka. Juga buru buru mengambil alat bertanam milik istana yang bergelatakan di tanah.
“Nanti ikut aku ya, berkeliling kota?” Bible tersenyum miring, alisnya dinaikan satu, membuat hati Biu menjerit.
“Iya.”
Dengan jawaban itu, Bible sudah cukup yakin, Kali ini pasti berhasil. Lalu keduanya berpisah di taman saksi bisu awal mula kedekatan mereka.
“Sekarang gak bisa? Aku kangen banget...”
Rengekan dari atas balkon istana membuat Biu tertawa dan dengan cepat ia memasang wajah galak miliknya.
“Tadi pagi kan udah, masa sekarang lagi?”
“Tadi pagi kan cuman kecup sekarang mau yang lebih...”
“Apasih Bible! sini aku cium pake tanah aja mau?” Pekiknya.
Semilir angin membuat rambut sosok yang ada diatas balkon menjadi berantakan. Dirinya malah tersenyum bodoh dan masih menunggu keajaiban kekasihnya mau naik keatas sini dan berbagi cinta bersama.
“Aku udah bilang ke papi dan mami tentang kita.”
Biu mendongak keatas, takut kalau reaksi raja dan ratu tidak sesuai ekspektasinya. Disana Bible malah tersenyum lebar, membuat Biu bisa menyimpulkan bahwa reaksi mereka sesuai ekspektasinya.
“Besok kita pergi ke istana utama, minta restu ke mereka ya Biu.”