bertengkar
“biu, ayo turun.”
apo tersenyum lalu setelahnya tangan kecil biu ia genggam dan menariknya untuk tetap berada di belakang tubuhnya. biu yang memang lebih kecil dari apo hanya bisa gemetar sambil tetap bersembunyi, seolah olah banyak orang yang sedang mencaci maki dirinya.
apo menoleh. dia mengusak rambut biu dan menghapus air mata yang tersisah di pipinya (masih basah). “gak apa apa jangan nangis, kan ada gue. i'm your protector, i'll always behind you. whatever you do.“
“thank you, po.” suara biu masih bergetar dan serak. air matanya juga masih turun tanpa aba aba.
keduanya kini sudah di depan pintu kayu bernomor enam belas, apo mengeluarkan kunci rumah dan menarik biu untuk masuk. tanda tanda akan keberadaan kedua teman serumahnya belum terlihat. suasananya hening, yang mana membuat biu semakin ketakutan. hanya ada suara tv tidak ditonton, kipas angin yang menyalah, dan bunyi token listrik yang menyaut nyaut minta diisi.
mereka berjalan sedikit kearah ruang makan, disana sudah ada asa dan us yang menyilangkan kedua tangan mereka di dada. keduanya bersandar dengan tatapan yang kosong. saat merasakan adanya keberadaan orang lain di ruangan tersebut, mereka menoleh dengan tatapan yang tidak bisa diartikan.
biu bisa mendengar us yang berdecih dan asa yang menghela nafas.
“lo masih punya muka ya setelah ketauan kita?” tanya us dengan nada sinis. kemudian dia melanjutkan kalimatnya, “oh iya lupa, badannya aja diliatin sama ratusan orang ya.”
apo yang mendengar itu pun langsung maju namun biu lebih cepat menahannya, mungkin memang benar apa yang dibilang us. kenapa ya dia masih punya muka untuk menghadapi orang orang?
apo menggeram, “lo bajingan ya, kita udah sahabatan dua tahun. dan karena masalah ini lo semua pada musuhin biu? waras lo pada?”
us kemudian tertawa, ia berdiri lalu berjalan ke hadapaan biu juga apo. “sahabat dua tahun kan pas temen lo ini mode jadi anak baik, kalo sekarang sih–”
ia menggantungkan kalimatnya, lalu menatap biu dengan tatapan rendah, “lagi mode cowok murahan ya?”
kemudian suara tamparan lah yang menjawab pertanyaan us tadi. asa yang melihat itu buru buru menarik us untuk menjauh dari apo.
“apa maksud lo nampar us kayak gitu? toh bener kan yang diucapin dia,” bela asa. biu perlahan mundur, air matanya sudah turun dengan derasnya. badannya gemetar hebat, tiba tiba terputar kembali akan ingatan masa lalunya. bagaimana ia disiksa oleh tantenya, bundanya yang selalu bertengkar dengan bapak, semua membuat kenangan buruk yang masih membekas hingga sekarang.
biu terus mundur dan terduduk lemas bersandar ke tembok belakangnya.
“stop, udah. jangan berantem lagi,” lirihnya.
apo menghela nafas, “lo urusin temen lo yang kayak anjing itu,” ia menunjuk asa dan us bergantian sebelum membopong biu untuk berdiri dan berjalan kearah kamar.